KARAWANG,
(PR).- Penderitaan sepertinya masih betah mengikuti korban konflik
agraria warga tiga desa di Kecamatan Telukjambe Barat. Setelah
Pemerintah Kabupaten Karawang menampung mereka di Gedung Islamic Centre,
Karawang Barat, hidup mereka ternyata tidak lebih baik.
Bahkan, salah seorang pengungsi bernama Awen (51), dilaporkan meninggal dunia akibat mengalami depresi. Dia tak sadarkan diri setelah mengatahui tumpukan kayu pornis yang ditinggal pergi di dusunnya hilang entah ke mana. Padahal, kayu tersebut sempat ditawar Rp 40 juta dan dicanangkan untuk biaya pendidikan anaknya di Stikes Kharisma Karawang.
"Mak Awen pingsan di hadapan petugas Dinas Sosial, Rabu 25 November 2016 lalu. Dia meninggal dunia Kamis malam setelah sempat dirawat di RSUD," ujar Karni, (30), sesama pengungsi yang kini tinggal di Gedung Islamic Centre, Karawang.
Menurut dia, Awen tak kuasa menahan kekesalan saat mengatahui barang-barang yang ditinggalkanya hilang dicuri orang. Bukan hanya tumpukan kayu yang lenyap, tetapi juga perabotan rumah tangga, perabotan pertanian, hingga peralatan dapur raib dari dalam rumah yang ditinggal pergi sejak 50 hari lalu.
Hal tersebut diketahui, setelah seorang pengungsi berupaya melihat rumahnya di Dusun Cisadeng, Desa Wanakerta yang kini dikuasi PT Pertiwi Lestari. Pengungsi tersebut berhasil masuk ke kampung halamannya dengan cara memutari semak belukar. Pasalnya, akses masuk ke desa tersebut selalu dijaga 24 jam oleh centeng PT PL. Pihak mana pun tak diperkanankan masuk ke lokasi tanah sengketa terkecuali ada izin dari pihak PT PL.
"Ada beberapa sepeda motor yang raib, setelah ditinggalkan oleh kami. Bahkan laptop, tabung gas pun sudah tidak ada di dalam rumah," ujar salah seorang pria pengungsi yang minta identitasnya tidak disebutkan. Menurut dia, kondisi dusun sudah porak-perandak. Kebun dan tanaman keras milik mereka sudah dibuldozer oleh PT PL. Bahkan, sejumlah rumah terlihat sudah miring.
"Saat diperiksa ternyata siku-siku rumah ada yang mencopot. Mungkin harapannya rumah kami roboh dengan sendirinya," kata pria tersebut. Menurut dia, kondisi itu membuat para pengungsi belum berani kembali ke kampung halamannya. Mereka sebenarnya ingin kembali beraktivitas sebagai petani, jika ada jaminan keamanan dari pihak berwajib.
Namun, hingga saat ini hal tersebut belum didapat. Bahkan, teror serta intimidasi terhadap warga masih diterima, kendati mereka tinggal di pengungsian. "Belum lama ini ada 34 warga yang dipanggil pihak Polres terkait peristiwa bentrokan puluhan hari lalu," timpal pengungsi lainnya. Padahal, kata dia, bentrokan terjadi karena warga mempertahankan kebun dan ladangnya dari aksi pembuldozeran pihak PT PL. "Kami hanya petani tidak mungkin bernani menyerang kalau tidak diusik dan dianiaya," katanya.
Disebutkan juga, peran polisi dari Polres Karawang sangat dominan terhadap peristiwa tersebut. Sebab, sebelum bentrokan terjadi mereka karap ikut mengintimidasi warga yang tidak mau menerima uang kerohiman dari PT PL. "Ada petugas intel Polres yang memaksa kami menerima uang kerohiman dan memaksa menandatangani surat yang mereka bawa," ujarnya.
Atas dasar itu pula, lanjutnya, warga memilih bertahan di pengungsian sebelum konflik tersebut benar-benar beres. Padahal, mereka harus rela tidur beralas karpet tipis pada ruangan yang panas. Makan pun hanya mengandalkan kiriman dari Dinas Sosial setempat dengan menu alakadarnya berupa nasi pera ditambah secuil sambal dan kerupuk. "Setiap hari mereka hanya duduk termenung tanpa tahu akan seperti apa kehidupannya di masa mendatang," katanya
.
Warga sebenarnya ingin kembali ke kampung halaman. Mereka tidak ingin berlama-lama hidup dijamin pemerintah. "Kami biasa hidup mandiri walau hanya dari hasil bertani. Hidup seperti ini tidak enak, apalagi tidak punya uang sama sekali," katanya.
Sementara itu, berdasarkan data dari Dinas Sosial setempat, sedikitnya ada 185 jiwa warga, Kecamatan Telukjambe Barat yang pergi meninggalkan rumahnya akibat terjadinya konflik agraria. Sebelumnya mereka hidup terkatung-katung di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komisi Perlindungan Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) di Jakarta Pemerintah Kabupaten Karawang kemudian menjemput mereka dan ditempatkan di Gedung Islamic Centre. Rencananya mereka akan dipindahkan ke Rusunawa Jalan Taruno, setelah Rusunawa itu selesai di perbaiki.
"Kebutuhan makan kami jamin, kendati Dinas Sosial sendiri kekurangan anggaran," ujar Kepala Dinas Sosial setempat, Rokhuyun A Santosa.***
sumber : Pikiran-rakyat.com
Bahkan, salah seorang pengungsi bernama Awen (51), dilaporkan meninggal dunia akibat mengalami depresi. Dia tak sadarkan diri setelah mengatahui tumpukan kayu pornis yang ditinggal pergi di dusunnya hilang entah ke mana. Padahal, kayu tersebut sempat ditawar Rp 40 juta dan dicanangkan untuk biaya pendidikan anaknya di Stikes Kharisma Karawang.
"Mak Awen pingsan di hadapan petugas Dinas Sosial, Rabu 25 November 2016 lalu. Dia meninggal dunia Kamis malam setelah sempat dirawat di RSUD," ujar Karni, (30), sesama pengungsi yang kini tinggal di Gedung Islamic Centre, Karawang.
Menurut dia, Awen tak kuasa menahan kekesalan saat mengatahui barang-barang yang ditinggalkanya hilang dicuri orang. Bukan hanya tumpukan kayu yang lenyap, tetapi juga perabotan rumah tangga, perabotan pertanian, hingga peralatan dapur raib dari dalam rumah yang ditinggal pergi sejak 50 hari lalu.
Hal tersebut diketahui, setelah seorang pengungsi berupaya melihat rumahnya di Dusun Cisadeng, Desa Wanakerta yang kini dikuasi PT Pertiwi Lestari. Pengungsi tersebut berhasil masuk ke kampung halamannya dengan cara memutari semak belukar. Pasalnya, akses masuk ke desa tersebut selalu dijaga 24 jam oleh centeng PT PL. Pihak mana pun tak diperkanankan masuk ke lokasi tanah sengketa terkecuali ada izin dari pihak PT PL.
"Ada beberapa sepeda motor yang raib, setelah ditinggalkan oleh kami. Bahkan laptop, tabung gas pun sudah tidak ada di dalam rumah," ujar salah seorang pria pengungsi yang minta identitasnya tidak disebutkan. Menurut dia, kondisi dusun sudah porak-perandak. Kebun dan tanaman keras milik mereka sudah dibuldozer oleh PT PL. Bahkan, sejumlah rumah terlihat sudah miring.
"Saat diperiksa ternyata siku-siku rumah ada yang mencopot. Mungkin harapannya rumah kami roboh dengan sendirinya," kata pria tersebut. Menurut dia, kondisi itu membuat para pengungsi belum berani kembali ke kampung halamannya. Mereka sebenarnya ingin kembali beraktivitas sebagai petani, jika ada jaminan keamanan dari pihak berwajib.
Namun, hingga saat ini hal tersebut belum didapat. Bahkan, teror serta intimidasi terhadap warga masih diterima, kendati mereka tinggal di pengungsian. "Belum lama ini ada 34 warga yang dipanggil pihak Polres terkait peristiwa bentrokan puluhan hari lalu," timpal pengungsi lainnya. Padahal, kata dia, bentrokan terjadi karena warga mempertahankan kebun dan ladangnya dari aksi pembuldozeran pihak PT PL. "Kami hanya petani tidak mungkin bernani menyerang kalau tidak diusik dan dianiaya," katanya.
Disebutkan juga, peran polisi dari Polres Karawang sangat dominan terhadap peristiwa tersebut. Sebab, sebelum bentrokan terjadi mereka karap ikut mengintimidasi warga yang tidak mau menerima uang kerohiman dari PT PL. "Ada petugas intel Polres yang memaksa kami menerima uang kerohiman dan memaksa menandatangani surat yang mereka bawa," ujarnya.
Atas dasar itu pula, lanjutnya, warga memilih bertahan di pengungsian sebelum konflik tersebut benar-benar beres. Padahal, mereka harus rela tidur beralas karpet tipis pada ruangan yang panas. Makan pun hanya mengandalkan kiriman dari Dinas Sosial setempat dengan menu alakadarnya berupa nasi pera ditambah secuil sambal dan kerupuk. "Setiap hari mereka hanya duduk termenung tanpa tahu akan seperti apa kehidupannya di masa mendatang," katanya
.
Warga sebenarnya ingin kembali ke kampung halaman. Mereka tidak ingin berlama-lama hidup dijamin pemerintah. "Kami biasa hidup mandiri walau hanya dari hasil bertani. Hidup seperti ini tidak enak, apalagi tidak punya uang sama sekali," katanya.
Sementara itu, berdasarkan data dari Dinas Sosial setempat, sedikitnya ada 185 jiwa warga, Kecamatan Telukjambe Barat yang pergi meninggalkan rumahnya akibat terjadinya konflik agraria. Sebelumnya mereka hidup terkatung-katung di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komisi Perlindungan Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) di Jakarta Pemerintah Kabupaten Karawang kemudian menjemput mereka dan ditempatkan di Gedung Islamic Centre. Rencananya mereka akan dipindahkan ke Rusunawa Jalan Taruno, setelah Rusunawa itu selesai di perbaiki.
"Kebutuhan makan kami jamin, kendati Dinas Sosial sendiri kekurangan anggaran," ujar Kepala Dinas Sosial setempat, Rokhuyun A Santosa.***
sumber : Pikiran-rakyat.com